JATENGSATU.COM — Wayang merupakan seni pertunjukan kebudayaan masyarakat Nusantara khususnya Jawa.
Kesenian wayang sudah ada sejak era kerajaan Hindu Buddha.
Sejak dahulu sudah terkenal dengan berbagai macam lakon dan alur cerita yang mengandung pesan moral untuk penontonnya.
Ada beberapa jenis wayang yang berkembang, salah satunya Wayang Othok Obrol yang kini hampir punah.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Wonosobo Agus Wibowo mengajak masyarakat untuk melestarikan kesenian ini.
“Lambat laun kesenian asli Tanah Air akan tergerus zaman, bahkan nyaris punah. Untuk itu, sejumlah pihak berupaya melestarikannya agar tetap hidup,” ujarnya.
Wayang Kedu yang berkembang di wilayah Kabupaten Wonosobo, dikenal dengan julukan Wayang Othok Obrol.
Wayang Othok Obrol telah lolos verifikasi kajian Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Sehingga, ini melengkapi beberapa tradisi lain dari Wonosobo yang telah terdaftar sebagai WBTB.
Seperti misalnya Ruwatan Rambut Gimbal pada 2016, Hak-hakan pada 2018, serta Tari Topeng Lengger dan Bundengan pada 2020.
Menurut Kadis Agus, popularitas kesenian Wayang Othok Obrol meredup seiring dengan arus globalisasi dan perkembangan media sosial.
Di sisi lain, wayang itu dinilai terlalu pakem dan tidak mampu menyesuaikan dengan tuntutan zaman, sehingga perlahan-lahan kehilangan pasarnya.
Guna melestarikan seni dan budaya di Wonosobo, pihaknya sudah menghimpun seluruh event-event skala kecil hingga internasional untuk disuguhkan dan tampilkan.
“Event ini jangan berhenti di tahun ini aja, tetapi lebih dikemas lagi sesuai aspek pangsa pasar yang ingin dituju sehingga bisa menjadi event budaya yang bisa menarik wisatawan,” imbuhnya.
Sementara itu, menurut Penggiat Budaya Wonosobo,Naniek Widayat menjelaskan, dibanding Wayang Gagrak (gaya) Mataram pada umumnya, Wayang Othok Obrol mempunyai ciri khas tersendiri.
Antara lain sunggingan tokoh wayang dan suluk dalang yang berbeda, ketiadaan sinden atau wiraswara, gamelan yang tidak lengkap atau hanya tujuh alat gamelan, notasi gamelannya yang lebih sederhana, dan biasanya lebih banyak menggelar lakon ruwatan.
“Warisan pedalangan yang telah bertahan selama enam generasi ini terancam tidak ada penerusnya. Calon dalang othok obrol menghadapi godaan berupa gagrak lain yang lebih populer,” jelasnya.
Meski demikian, upaya pelestarian terus dilakukan. Pihaknya berharap semakin banyak masyarakat mengenal Wayang Othok Obrol dan pelestarian kepada generasi muda berjalan dengan baik.
Jelas Naniek, Wayang Othok Obrol mengacu pada wayang gagrag Kedu yang menjadi dasar rupa wayangnya.
“Menurut Ki Makim, wayang itu beda dari yang lain, karena tidak diciptakan dengan laku tatah-sungging manusia. Fisiknya berciri tua dan gemuk, sehingga terkesan ‘cebol’ dan memiliki wajah menunduk. Wayangnya diwarnai dengan pigmen alami, diantaranya dari gerusan tulang, biji gendhulak, jelaga, dan lainnya,” ujarnya.
Lakon Wayang Obrol juga tidak berat untuk dinikmati, seperti halnya Wayang Purwa.
Karena Wayang Othok Obrol membawakan kisah dari Mahabarata dan Ramayana, dengan lakon-lakon carangan seperti Murti Serat, Raja Kèngsi, Andhaliretna, atau yang familiar dengan selera rakyat seperti Semar Supit dan Semar Cukur.
Lakon yang merakyat dan ringan, tapi bermakna inilah yang sempat membuat Wayang Othok Obrol populer di Wonosobo.
Terlebih, biaya operasionalnya cukup terjangkau karena hanya membutuhkan satu dalang dan delapan wiyaga, tanpa sinden.
Sejarah Wayang Othok Obrol

Wayang Othok Obrol
Wayang Othok Obrol adalah salah satu jenis wayang yang berasal dari daerah Surakarta, Jawa Tengah. Wayang ini terkenal dengan ciri khasnya yaitu ukurannya yang kecil dan lucu. Wayang Othok Obrol seringkali digunakan sebagai hiburan rakyat dan seringkali dimainkan di pasar-pasar tradisional.
Wayang Othok Obrol berasal dari kata “Othok” yang berarti kecil dan “Obrol” yang berarti berbicara atau bercakap-cakap. Wayang Othok Obrol dibuat dengan bentuk yang kecil dan lucu sehingga cocok untuk dimainkan sebagai hiburan rakyat. Cerita yang dibawakan oleh wayang Othok Obrol tidak jauh berbeda dengan wayang kulit pada umumnya. Namun, yang membedakan adalah gaya bercerita yang lebih santai dan humoris.
Wayang Othok Obrol biasanya dimainkan oleh satu dalang yang juga bertindak sebagai pengisi suara bagi seluruh karakter dalam pertunjukan. Dalang juga akan menyajikan cerita-cerita yang lucu dan menghibur untuk membuat penonton tertawa.
Selain itu, Wayang Othok Obrol juga memiliki karakter yang unik dan menarik. Beberapa karakter yang terkenal adalah Ki Manteb Soedarsono, Raden Pandji Soeroso, dan lain-lain. Ki Manteb Soedarsono adalah tokoh yang sangat dihormati dalam dunia wayang Othok Obrol karena ia dianggap sebagai dalang terbaik dalam memainkan wayang ini.
Pertunjukan Wayang Othok Obrol seringkali dimainkan di tempat-tempat terbuka seperti pasar tradisional, lapangan desa, atau tempat-tempat yang ramai. Karena itu, wayang ini lebih mudah diakses oleh masyarakat umum dan dapat menjadi hiburan yang menyenangkan bagi orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat.
Wayang Othok Obrol juga memiliki peran penting dalam melestarikan budaya Jawa. Pertunjukan wayang ini dapat menjadi media untuk memperkenalkan budaya Jawa kepada generasi muda. Selain itu, wayang Othok Obrol juga dapat membantu dalam mempromosikan pariwisata di daerah asalnya, karena pertunjukan wayang ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Dalam perkembangannya, Wayang Othok Obrol masih terus dipertahankan keberadaannya sebagai warisan budaya. Bahkan, pada tahun 2015, wayang ini berhasil masuk ke dalam daftar Warisan Budaya Takbenda Indonesia yang ditetapkan oleh UNESCO.
Secara keseluruhan, Wayang Othok Obrol adalah salah satu jenis wayang yang unik dan menarik. Dengan ciri khasnya yang kecil dan lucu, wayang ini menjadi salah satu hiburan rakyat yang populer di daerah Surakarta dan sekitarnya. Selain itu, Wayang Othok Obrol juga memiliki peran penting dalam melestarikan budaya Jawa dan dapat menjadi media untuk memperkenalkan budaya Jawa kepada generasi muda. (*)